I Say YES to Solo Trip
Hi citizens of the earth, so we meet again! Minggu ini saya ingin bicara tentang perjalanan saya berkenalan dengan diri saya sendiri. I know I can’t speak for everyone, karena semua orang punya cara yang berbeda-beda untuk mengenal dan mendengarkan diri mereka sendiri. Tanpa bermaksud mengajari, saya hanya ingin berbagi proses saya mengenal diri sendiri yang masih terus saya jalani hingga saat ini.
Spiritual Needs
Sebagai seorang pekerja di Jakarta, seperti banyaknya penduduk ibukota, saya hampir selalu bergerak dan lupa akan kebutuhan emosional dan spiritual saya. All I know is working and working and working. Padahal, keseimbangan emosional juga menjadi hal yang sangat penting dalam perkembangan diri. Saya yang larut dalam derasnya arus Jakarta, merasa disconnected dalam jiwa, dan mengerikannya saya tidak sadar akan hal ini.
Sejak kecil saya tumbuh dikelilingi orang-orang yang menyayangi saya. Mama, Papa, Ila dan Fanie (kakak-kakak saya). Saya terbiasa memiliki rasa aman dan nyaman kemanapun saya bepergian. Saya tahu saya punya rumah, saya tahu saya punya safety net yang akan siap menangkap ketika saya jatuh. Ketika remaja pun, saya menemukan orang yang begitu memberikan rasa aman di hati saya. Ia adalah Aldi, suami saya, kekasih saya sejak umur 17 tahun. Begitu hangatnya dunia saya, begitu beruntungnya saya bisa lahir dan tumbuh penuh dengan orang-orang yang melindungi.
Saya adalah individu yang dibesarkan lengkap dengan “kemewahan” pendidikan yang dibekali di sekolah dan di rumah, saya masuk ke dalam tahap menghargai diri saya secara otomatis. Kesadaran saya untuk menjalani kehidupan dengan mengutamakan diri sendiri bisa dikategorikan sebagai egosentris, karena perasaan dan kenyamanan saya pribadi akan menjadi faktor utama dalam membuat suatu keputusan. Terlalu naif rasanya jika saya bilang beberapa hal saya putuskan untuk kebaikan khalayak banyak, yang mana jika berbuat kebaikan untuk orang lain akan ada rasa bangga akan diri sendiri, yang kembali menjadikan saya sebagai faktor utama penuai kepuasan yang menjelaskan maksud dibalik keputusan yang sudah saya ambil. Bingung nggak? Saya sendiri juga bingung. Hahaha..
Life Crisis
Pada usia saya yang ke 28 tahun, entah mengapa tiba-tiba muncul kegundahan. Saya gundah akan keputusan karir yang sudah saya jalani. Saya gundah akan beberapa keputusan hidup yang sudah saya ambil. Saya bingung setelah ini saya harus berjalan ke arah mana. Saya bingung pengembangan diri saya harus dimulai dari mana. Krisis identitas, krisis diri, saya butuh tahu, apakah hal yang saya jalani ini sesuai dengan hati kecil saya, atau masih banyak hal yang perlu saya cari?
28 tahun dan bingung dan banyak pertanyaan. Banyak sekali hal yang saya pikirkan, sampai kepada titik saya merasa hal ini tidak boleh dilanjutkan, karena saya bisa-bisa tidak bersyukur atas apa yang sudah saya miliki saat ini. Saya memiliki suami yang begitu manis, keluarga yang hangat, teman-teman yang perhatian, dan pekerjaan yang baik. Saya tahu betul saya harus bersyukur, harus merasa cukup, dan harus pasrah pada rencana Tuhan.
Solo Trip
Akhirnya saya memutuskan untuk retreat dari kehidupan yang penuh dengan rutinitas, untuk sesaat merefleksikan diri. Saya memutuskan untuk pergi seorang diri. Untuk beberapa orang mungkin hal ini biasa, dan mudah untuk dilakukan. Tapi tidak untuk saya, seorang anak manja yang selalu diantar kemanapun saya mau pergi. Hal ini terbilang besar karena selama kurang lebih seminggu saya akan benar-benar sendiri tanpa siapapun untuk diajak berbicara.
Saya memilih Bali sebagai destinasi untuk menenangkan pikiran. Jujur, setelah 12 tahun bersama, tidak mudah untuk pergi sendiri tanpa orang yang saya cintai, tapi saat itu saya tahu bahwa ini adalah hal yang sangat perlu saya jalani. Saya harus membuat ruang di dalam hidup saya sendiri, untuk lebih mengapresiasi dan mensyukuri semua berkat luar biasa yang telah diberikan Tuhan kepada saya.
Refleksi diri dimulai ketika saya masuk ke pesawat. Mulai saat itu, hampir semua orang yang saya lihat adalah orang asing. Saya merasa kecil di tengah begitu banyak orang yang tidak saya kenal. Dan inilah yang saya butuhkan, perasaan inferior di dalam alam semesta. Saya tahu saya makhluk kecil yang membutuhkan orang dan makhluk lain. Hidup saya tidak sebesar dan sesignifikan itu, saya harus masuk ke dalam sistem kehidupan untuk membuat dunia jadi lebih baik. Saya merasa saya tidak boleh lagi egois dan hanya memikirkan diri saya sendiri.
Solo Activities
Sesampainya saya di destinasi, saya memilih Ubud agar saya lebih tenang, lebih fokus mencari makna hidup. Setiap hari saya pastikan untuk dua kali mengikuti kelas yoga, di pagi dan sore hari. Saya juga sempatkan diri untuk mengikuti workshop meditasi, agar hati dan pikiran saya fokus kepada keadaan di hidup saya yang saat ini.
Satu hal penting yang saya pelajari dari yoga dan meditasi yang hingga saat ini masih saya lakukan adalah untuk fokus dengan hidup yang sedang kita jalani, dan memasrahkan diri ke rencana Tuhan untuk kita. Dengan fokus kepada apa yang kita jalani, kita memberikan ruang untuk mengembangkan diri sesuai dengan kemampuan kita. Hal ini membantu saya untuk stop berpikir tentang masa depan secara obsesif, dan bersyukur atas apa yang telah saya lakukan dan miliki hingga saat ini. Keseimbangan diri inilah yang akhirnya membuat saya belajar bahwa yang perlu kita lakukan adalah menjadi diri kita yang lebih baik tiap harinya, dan stop berkompetisi atau membandingkan diri dengan orang lain.
Di sela-sela waktu yoga dan meditasi, saya juga menyempatkan diri untuk berjalan kaki di Ubud untuk keliling museum-museum lukisan. Di dalam kesepian ini, banyak sekali hal yang bisa saya syukuri. Saya sangat bersyukur atas suami saya yang selalu menemani dan memberikan supportnya di dalam apapun yang saya lakukan. Saya bersyukur atas kehidupan luar biasa dan kesempatan untuk bisa menyentuh banyak hati orang lain di dalam pekerjaan yang saya geluti.
Selain itu, saya juga bisa lebih leluasa mengeksplor restoran dan cafe yang memiliki menu-menu vegan dan vegetarian. Saya sedikit kesulitan biasanya karena sedikit dari keluarga saya yang mau makan hijau-hijauan selama sedang berlibur hahaha. Bahagia sekali rasanya menjajal begitu banyak makanan-makanan plant-based yang bertebaran di Ubud.
Books and more books.
Di dalam kesendirian ini saya juga akhirnya bisa membaca buku sebanyak mungkin. Kadang berjalan bersama orang lain membuat kita memecah konsentrasi saat sedang asyik larut di dalam bacaan. Dan beberapa hari yang saya jalani sendirian ini akhirnya membuat saya membaca lebih banyak, dan berpikir lebih banyak.
Seriously, out of all the decisions in my life, taking this solo trip was one of the best decisions I've made. Karena saya akhirnya paham betul apa yang terjadi pada diri saya. Kegundahan yang saya rasakan adalah karena terlalu dekat dengan banyak orang tapi tidak kenal dengan diri saya sendiri. Saya lupa mendengarkan kebutuhan spiritual diri, yang menyebabkan kemampuan komunikasi dengan orang lain juga makin rendah. Tidak hanya lupa mendengarkan diri sendiri, saya juga lupa mendengarkan orang lain.
Menurut saya pribadi, kebudayaan Indonesia yang sangat kekeluargaan membuat banyak orang merasa seperti yang saya rasakan tapi tidak tahu harus menyelesaikannya seperti apa. Banyak orang yang ingin menyenangkan orang lain, tapi lupa kepada diri sendiri. Untuk banyak orang yang merasa relevan dengan apa yang saya bicarakan, mungkin sudah saatnya cari tiket dan rehat sejenak.
Plan Your Trip and Get Lost in Yourself!