Mengimani Kebhinekaan

May 25, 2018

Hi teman-teman! Apa kabar semuanya? Kali ini mungkin saya akan mencoba untuk membahas sesuatu yang jauh lebih serius dari biasanya, sesuatu yang menggelitik saya, sesuatu yang membakar semangat saya untuk bersuara…

Saya coba memulai wacana ini dengan kisah hidup dari kacamata saya dulu ya, tapi saya yakin di luar sana banyak banget orang Indonesia yang punya berjuta-juta cerita berbeda, and we need to tell it out loud..

Saya dilahirkan di keluarga dengan 2 agama, Ibu saya beragama Kristen Protestan dan Bapak saya beragama Islam. Saya sendiri dibaptis dibawah Gereja Protestan ketika saya bayi, dan sejak saat itu saya menjadi bagian dari Gereja. Meskipun dibesarkan dengan 2 agama di dalam rumah, saya tidak pernah merasa ada sedikit pun keanehan. Kedua orangtua saya adalah pasangan suami istri yang sangat mesra, terlepas dari perbedaan mereka. Tidak terhitung berapa kali dalam sehari kami menyaksikan mereka berpelukan dan berciuman. Saya dibesarkan dengan kasih dan kasih itulah yang menjadi kepercayaan saya.

Keluarga besar saya begitu majemuk, ada yang beragama Kristen Protestan, ada yang Katolik, dan juga Islam. Ini yang selalu membuat satu tahun kita penuh dengan berbagai perayaan. Tidak pernah ada rasa tabu dari kita untuk merayakan hari suci umat manapun, karena sejak kecil kami diajarkan demikian. Lebaran makan ketupat, Natal makan sop buntut, yang penting kita berkumpul selalu. Begitu banyak hal yang kami bicarakan, mulai dari gunjang ganjing politik, gosip selebritis, sampai resep makanan. Tapi satu yang tidak pernah kami perdebatkan, yaitu agama dan kepercayaan kami masing-masing.

Hingga saat ini pun saya membina keluarga dengan seorang pria Katolik yang memilih untuk tetap memegang kepercayaannya. Kami berdua memutuskan untuk bergantian ke Gereja Katolik dan juga ke Gereja Kristen. Kami berdua juga tidak pernah merasa ada keharusan untuk menjadi satu agama, karena kami sudah menentukan kepercayaan apa yang akan dipeluk oleh anak kami di masa depan nanti. Dengan perbedaan ini, kami pun dengan kepala dingin bisa menentukan pendidikan yang tepat untuk anak kami nantinya. Jika tiba waktunya nanti, anak kami akan dipersiapkan untuk membuka pikiran untuk menerima berjuta-juta perbedaan yang ia harus pahami demi menjadi individu yang baik.

Kenapa saya membicarakan hal ini? Karena belakangan ini jujur saya miris melihat begitu banyak orang yang meruncingkan perbedaan, dan senang memperdebatkan ajaran satu sama lain. “Di ajaran saya begini…”, “ngga bisa kayak begitu, harusnya kayak begini..” Yang menjadi pertanyaan saya, mau dibawa kemana sih perdebatan ini sebenarnya? Apakah ada skenario yang akhirnya seseorang bisa bilang “oh iya kayaknya anda benar, saya pindah kepercayaan deh…”?

Hampir 73 tahun Indonesia berdiri kokoh dengan Pancasila sebagai ideologi bangsa. Tapi kelakuan masyarakat makin lama makin tidak berbhinneka. Satu hal yang begitu sungguh mengejutkan untuk saya ketika kasus terorisme merebak beberapa waktu lalu, masih ada masyarakat yang tidak berbelasungkawa. Entah apa yang ada di dalam hati mereka yang masih bersikukuh ini permainan “dalang”lah, kasus yang dibesar-besarkan, sampai kepada yang berkeyakinan bahwa para umat yang jadi korban tidak perlu didoakan hanya karena berdasar pada beda kepercayaan.

Seangkuh itukah hati manusia?

Satu fenomena lain ketika seorang pria yang tidak saya kenal memberikan saya pesan melalui instagram. Dalam pesan itu ia memberikan wejangan (yang juga bukan ajaran berdasarkan satu kitab suci) untuk saya segera “tobat". Dalam pertobatan ini yang ia maksud adalah untuk saya pindah kepercayaan, menjadi kepercayaan yang ia yakini. Ketika saya tanya untuk apa karena tidak relevan untuk saya, sang bapak menjawab “untuk jadi bahan perbandingan.” Astaga! Hobi macam apa ini? Memperdebatkan kepercayaan? Buat apa sih? Beneran deh, buat apa kalau ujungnya menyinggung dan menyakiti orang lain?

Apa sih yang menjadikan masyarakat Indonesia senang banget ngomongin perbedaan dan meruncingkan perbedaan? Kalau lahir dan dibesarkan dengan Pancasila, bukannya perbedaan sudah PASTI menjadi bagian dari hidup kita sehari-hari?

Coba bayangkan deh kalau orang di samping anda memakai baju yang sama dengan anda, tas yang sama, sepatu yang sama, dan mencoba untuk menjadi anda? Aneh kan? Bahkan kakak, adik, saudara kita pun juga tidak 100% berpikiran yang sama dengan kita. Lalu buat apa memperdebatkan semuanya bukannya berdialog?

Ruang dialog di Indonesia saat ini sangat sempit. Ngomong begini menyinggung, ngomong begitu ditimpuk. Mau berdebat terus menerus, tapi nggak pernah mau mendengarkan argumentasi dari sisi seberang. Jika anda mau berbicara dengan lantang, bukannya sebelum itu harus MENDENGAR lebih dahulu?

Saya mau menekankan bahwa tujuan saya menulis ini BUKAN mau bilang kalau kepercayaan dan pemahaman saya adalah yang paling baik. Saya tidak mau menginfluence orang untuk menjadi sepemahaman dengan saya. Jika memang itu tujuan saya, dan semua orang jadi sama dengan saya, sedih dong berarti saya akan berhenti belajar dari orang lain?

Yang saya tekankan di sini adalah menerima perbedaan, dan tumbuh dalam keberagaman. Bergaul dengan banyak orang, mendengarkan semua hal secara keseluruhan. Kedepankan dialog, selesaikan dengan analisa dan evaluasi. Wacana ini saya lemparkan ke khalayak luas, dan jika memang mau menentang juga boleh, silahkan tentang pemahaman saya. Profesor Sapardi Djoko Damono pernah mengatakan kepada saya bahwa ilmu pengetahuan itu harus ditentang, karena dari pertentangan itulah ilmu pengetahuan akan hidup. 

As I said before, jika pemahaman harus sama, kepercayaan harus sama, jangan bingung kalau suatu saat nanti wajah kita semua harus sama. Hidung sama, mata sama, bibir sama. Bayangkan betapa basinya dunia ini? Betapa setiap hari bisa lewat tanpa belajar apapun? Do you really want to live in a world like that?

Buatlah keberagaman jadi trend. Keinginan untuk memahami sisi orang lain jadi sesuatu yang cool. Jangan sampai dunia anak-anak kita di masa depan hanya hitam putih saja, mereka harus bisa berkarya dengan memanfaatkan berjuta-juta warna di dunia. Sending love to you all! Bhinneka Tunggal Ika!