Sopan Santun dimulai dari jempol tangan

December 18, 2017

Pernahkah anda memperhatikan cara anda berkomunikasi melalui sms? Email? Di media sosial? Whatsapp? Atau komunikasi apapun itu yang dilakukan melalui teks? Apakah anda merasa lebih nyaman? Apakah segala sesuatu lebih bisa terarah dan terdesain dengan baik? Atau malah sebaliknya? Segala sesuatu lebih jujur dan apa adanya?

Mari coba kita cermati, misalnya anda terjebak dalam undangan yang tidak ingin anda hadiri, anda akan lebih nyaman untuk menolak undangan ini melalui apa? Telepon? Tatap muka? Atau melalui teks (email, sms, messenger)? Atau misalnya anda seorang boss yang harus menegur anak buah atas kesalahan yang sudah ia lakukan, anda lebih nyaman menggunakan jalur apa? Langsung mendamprat di depan wajahnya? Melalui telepon? Atau melalui email?

Dewasa ini, komunikasi dan interaksi antar pribadi hampir 65% dilakukan melalui teks. Baik itu melalui messenger atau melalui media sosial, pola komunikasi ini seakan menjadi pilihan yang paling tepat untuk masyarakat dunia modern. Akan tetapi, untuk bangsa Indonesia, pola komunikasi ini datang juga dengan sisi negatif. Seakan pisau bermata dua, dibalik kenyamanan pola komunikasi teks ada masalah baru mengenai budaya masyarakat Indonesia yang sarat akan sopan santun, seperti terlupakan jika sudah memasuki ranah teks.

Penyair terkenal asal Irlandia, Oscar Wilde pernah mengatakan : “Man is least himself when he talks in his own person. Give him a mask, and he will tell you the truth.” Jawaban dari kenyamanan kita semua di dunia teks adalah jarak yang tercipta antara pengirim pesan dan penerima pesan. Hah? Jarak apa? Jarak yang saya bicarakan di sini adalah ketika anda tidak bisa melihat langsung dengan mata atau mendengar lewat telinga respon yang akan diberikan oleh penerima pesan. Dan penerima pesan tidak dapat melihat langsung dengan mata atau mendengar lewat telinga respon yang diberikan oleh anda. Sehingga segala sesuatu lebih mudah diutarakan langsung dari hati.

Untuk membuktikan bahwa sopan santun seringkali tertinggal di ranah teks, caranya mudah saja. Hanya cukup masuk ke akun salah satu selebriti terkenal di Indonesia, dan buka kolom komentar. Anda akan melihat begitu banyak kritik, cibiran berbau sarkasme, bahkan lontaran yang sarat akan unsur seksual di mana-mana. Bagaikan bunga yang bermekaran di padang rumput, komentar kasar akan selalu tertuai di post apapun yang dilakukan oleh para publik figur ini. Komentar yang terlalu kasar untuk dilontarkan di wajah seseorang, ternyata menjadi sah-sah saja untuk dilontarkan di media sosial. Hal ini menimbulkan pertanyaan, apakah etika menjadi unsur yang tidak penting di dalam komunikasi digital? Apakah pelajaran sopan santun yang ditanamkan baik di sekolah maupun di rumah tidak mampu diterapkan didalam masyarakat digital?

Menurut saya pribadi, apa yang saya katakan melalui komunikasi teks, baiknya juga sopan jika disampaikan lewat tatap muka. Mungkin memang kajian ini belum lengkap dan belum bisa dipertanggungjawabkan dengan data yang akurat. Akan tetapi, relevansi yang mungkin didapati di sini bisa menjadi trigger untuk masyarakat lebih aware dengan etika jempol sendiri. Sebelum beri komentar ataupun kritik yang pedas kepada seseorang atau suatu institusi, pikir sebentar, apakah kata-kata saya pantas? Apakah ini cukup sopan untuk dilontarkan di depan muka orang tersebut? Apakah ini merupakan kritik membangun? Karena apa yang akan kita lakukan saat ini, akan berdampak untuk anak-anak kita di masa depan. Apakah anda sudah siap melihat anak anda menghina orang lain? Memberikan komentar sexist? Atau sekadar berkata kasar? Jujur saja, Saya sih belum. ☺