You Are Your Own True Self
Halo semua! Thanks again for visiting this website, I'm forever grateful to have the opportunity to share everything with each of you. Seperti biasa, apa yang saya tulis berdasarkan pengamatan pribadi. Belum lama ini saya follow akun instagram dari Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini, dan hampir selalu tersentuh dengan posts yang terdapat di sana. Dan beberapa hari lalu, saya mendapati post yang saya lampirkan.
Kalimat sederhana ini membuat saya tertegun karena beberapa hari ini saya juga melakukan perenungan yang cukup panjang mengenai beberapa keputusan hidup yang telah saya buat. Begitu banyak hal yang membelenggu saya, dan standart sosial adalah yang paling mengerikan. Beberapa kali saya bisa melepaskan diri dari standart sosial yang berkembang di masyarakat. Salah satu hal yang saya rasa cukup berhasil dan terus saya lakukan adalah mencoba meluruskan standart cantik perempuan di Indonesia yang selalu berkutat pada perempuan putih dan berambut hitam panjang. Meskipun masih cukup segmented, akan tetapi saat ini dunia periklanan Indonesia sudah mulai membuka diri pada perempuan-perempuan berkulit sawo matang, yang memang merupakan kulit asli dari orang Indonesia.
Tidak hanya standart kecantikan, masih banyak sekali standart sosial yang mengekang kita untuk tumbuh di masyarakat. Studi dari Jurnal Social, Cognitive, and Affective Neuroscience bahkan menyebutkan bahwa norma sosial seringkali mengelabui otak dalam membuat keputusan hidup. Menggunakan brain imaging data, para peneliti membuat model yang menyatakan bahwa standar sosial ada di prioritas tertinggi, melebihi keinginan hati. Maka dari fakta ini saya jadi bertanya, sejauh mana kita harus mengikuti standart sosial yang sudah terbentuk daripada mengikuti kata hati dan idealisme diri? Sejauh mana kita harus melakukan pengorbanan dan berusaha untuk "diterima" oleh masyarakat?
Tidak sedikit orang Jakarta yang rela berkorban mati-matian demi mengikuti standart sosial yang ada. Misalnya, dengan hanya makan mie instan setiap hari di rumah, demi bisa bermalam minggu dengan mewah di cafe-cafe terbaru di Ibukota. Atau mungkin melewati batas kredit di kartu karena begitu ingin memiliki barang-barang untuk bergaya agar kembali lagi, bisa diterima di kehidupan sosial yang memiliki begitu banyak syarat.
Satu hal yang baru saya sadari belakangan ini adalah keinginan saya untuk memperoleh pengakuan masyarakat cukup membutakan dalam membuat keputusan dan membawa saya untuk menuliskan post ini. Yang saya alami beberapa tahun belakangan cukup mengagetkan, karena selama saya tumbuh menjadi perempuan dewasa, saya selalu sadar dan bangga akan karakter diri yang solid. Akan tetapi, pergaulan membuat saya lupa diri. Saya lupa akan banyak hal yang dulu bisa mendatangkan kesenangan luar biasa. Sejak SMP, semua anak perempuan seusia saya terjerembap di dalam keinginan untuk bergaya sekeren-kerennya dan menghabiskan banyak uang untuk shopping. Saya melakukan hal yang cukup berbeda, Saya menabung dan menghabiskan uang untuk membeli CD musik terbaru dan buku-buku yang membuat saya melihat dunia dengan cara berbeda. Hobi ini yang membawa saya untuk bermimpi dan stuck di dalam pemikiran diri sendiri. Hal seperti ini sudah cukup untuk saya, dan selalu membuat hati saya merasa puas.
Namun, pada saat dewasa standart sosial akhirnya malah membawa saya yang baru mulai bekerja dan memiliki "upah ekstra" untuk menghabiskan rejeki yang saya miliki untuk membeli barang-barang mewah yang sepertinya tidak memiliki makna apapun untuk saya. Saya banyak membeli barang-barang yang sekarang hanya tergeletak di dalam kamar, dan tidak tahu kapan akan saya pakai. Satu film dokumenter tentang hidup sederhana yang cukup membangunkan saya adalah Minimalism : A Documentary About Important Things. Setelah menonton film ini, saya mempertanyakan kembali hal-hal yang saya butuh dan hal-hal yang esensial di dalam hidup saya. Meskipun masih memiliki keinginan untuk berbelanja barang kesukaan seperti buku, akan tetapi untuk kepuasan mendengarkan musik bisa dengan berlangganan Spotify atau Apple Music yang akhirnya tidak perlu lagi memenuhi rumah dengan begitu banyak kepingan tak terpakai.
Saat saya mulai membenahi cara melihat materi menjadi hal yang lebih filosofis, saya mengalami problem lain, yakni standart sosial dalam hal pemikiran. Standart sosial dalam pola pikir? Yakin masih ada? Masih banget! Meskipun sudah 20 tahun terlepas dari belenggu otoriter Orde Baru yang ingin menyeragamkan pemikiran ternyata tekanan dari masyarakat untuk berpikir dengan cara "lazim" juga masih ada. Saya mengalami complain dari beberapa orang mengenai pemikiran saya yang dianggap terlalu skeptis dan mempertanyakan banyak hal kecil yang harusnya dibiarkan. Pertanyaan saya, jika semua orang hanya memikirkan hal yang biasa saja yang sudah pasti bisa dipikirkan lalu apa gunanya ahli pikir dan filsuf-filsuf yang lahir di zaman kuno (maupun di zaman modern)?
Beberapa bagian dari masyarakat ini dengan cara langsung maupun tidak langsung ingin menyatakan bahwa ada sesuatu yang salah dari saya yang berpikir kemana-mana, bahkan untuk sementara waktu saya sempat merasa bahwa mereka benar. Sebagai lulusan pascasarjana mahasiswa Seni dan Budaya, saya dididik untuk mempertanyakan berbagai fenomena sosial dan menelaahnya di dalam teori cultural studies. Kebingungan ini membuat saya banyak membaca jurnal-jurnal kebudayaan. Akhirnya saya mendapat kesimpulan bahwa adaptasi menjadi bagian terpenting di dalam kehidupan sosial seseorang. Saya kembali belajar bahwa beberapa pertanyaan yang saya tanyakan lebih baik ditulis ke dalam sebuah jurnal lengkap dengan teori pembedah agar menghilangkan kebingungan, dan beberapa hal lebih baik didiskusikan dengan akademisi, bukan masyarakat luas.
Apa yang saya tulis di sini bukan untuk membuat pembaca bingung, akan tetapi saya hanya ingin membawa kita semua ke perenungan mengenai social pressure atau tekanan sosial yang pernah kita alami atau mungkin pernah kita lakukan di masyarakat. Baik itu memaksakan seseorang berpakaian sesuai dengan keinginan kita, berpemikiran sehat sesuai dengan standart sehat kita, ataupun hal lain yang akhirnya membuat seseorang merasa tidak diterima di dalam lingkungan sosial. Tentunya sebagai bagian dari masyarakat, kita setiap hari hanya mencoba melakukan hal yang kita anggap bisa menjamin kita diterima dengan baik oleh orang lain. Akan tetapi, apakah itu bagian dari diri kita sendiri? Jika masyarakat mengharuskan kita membeli tas seharga 100 juta rupiah haruskah kita membeli? Jika masyarakat berpikiran dan bergerak ke arah gila, apakah kita juga harus menjadi gila? Atau kita bisa diam dengan idealisme dan value hidup yang kita miliki?
Saya memilih untuk berdiri tegak dengan pemikiran dan idealisme saya akan banyak hal meskipun mungkin terkesan menyulitkan diri sendiri. Akan tetapi saya juga melakukan beberapa penyesuaian dalam hal perkataan dan penulisan agar tidak terlempar terlalu lantang dari pemikiran saya. Berkomunikasi tanpa menyinggung, berpendapat tanpa menghina. That's all for today, folks! Your mind is your own, your decisions is yours to make, feel free to explore any thoughts and any possibilities, after all you only live once! Sampai juga di post selanjutnya, XOXO!